Polarisasi Masyarakat Efek Dari Pemilu: Refleksi Atas Pendidikan Politik Dan Praktik Demokrasi di Indonesia.
Oleh : Martonsius Juang.
Pemilu seharusnya menjadi pesta demokrasi yang menggembirakan bagi rakyat.
Dalam sistem demokrasi, pemilu adalah momen ketika kedaulatan berada di tangan rakyat untuk menentukan pemimpin yang akan membawa mereka ke arah yang lebih baik.
Namun, realitas yang terjadi di tengah masyarakat justru menunjukkan fenomena yang kontras.
Pemilu sering kali menjadi ajang yang memicu polarisasi di masyarakat.
Konflik, perpecahan, dan kebencian yang terjadi karena perbedaan pilihan politik menimbulkan pertanyaan serius: apakah esensi kedaulatan rakyat dan hak konstitusional benar-benar terwujud?
Polarisasi yang terjadi selama pemilu dapat dilihat dari berbagai contoh nyata.
Di sejumlah daerah, hubungan antarwarga rusak hanya karena perbedaan pilihan.
Bahkan, ada yang sampai tidak saling tegur sapa, dikucilkan dari komunitas karena tidak mendukung calon tertentu, hingga tidak hadir melayat di pemakaman warga yang berbeda pandangan politik.
Fenomena ini mencerminkan bahwa pemilu yang seharusnya mempersatukan rakyat malah menjadi momok yang memecah belah.
Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya pendidikan politik dan adanya indikasi politik busuk yang mengadu domba masyarakat.
Salah satu akar masalah dari polarisasi ini adalah kurangnya pendidikan politik yang benar di kalangan masyarakat.
Pendidikan politik seharusnya memberikan pemahaman bahwa perbedaan pendapat adalah bagian dari demokrasi, dan setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih sesuai dengan hati nuraninya.
Sayangnya, yang terjadi adalah eksploitasi emosional oleh oknum tertentu melalui narasi yang memecah belah.
Hal ini bertentangan dengan semangat Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap orang untuk berpendapat, berekspresi, dan memilih.
Selain itu, praktik politik uang atau _money politic_ juga menjadi penyebab utama rusaknya moral demokrasi.
Dalam banyak kasus, masyarakat dipaksa memilih calon tertentu melalui iming-iming uang atau materi.
Pasal 73 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dengan tegas melarang pemberian uang atau materi lain untuk memengaruhi pemilih.
Namun, praktik ini masih marak terjadi, mencerminkan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran tersebut.
Politik busuk yang mengadu domba masyarakat juga sering dilakukan oleh pihak-pihak tertentu demi memenangkan calon yang mereka usung.
Tindakan ini sering kali menggunakan narasi negatif yang menyasar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Padahal, Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif tersebut.
Sayangnya, semangat ini belum sepenuhnya diterapkan di tengah dinamika politik praktis.
Polarisasi ini juga mencerminkan kegagalan institusi demokrasi dalam menjalankan perannya. Partai politik, yang seharusnya menjadi wahana pendidikan politik, sering kali hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan.
UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik mengamanatkan bahwa partai politik berfungsi untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Namun, fungsi ini sering kali terabaikan karena fokus partai lebih banyak pada kepentingan pragmatis.
Jika dibiarkan, polarisasi akibat pemilu dapat berdampak buruk jangka panjang pada stabilitas sosial dan politik bangsa.
Kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi akan terus menurun, dan konflik horizontal berpotensi semakin meluas.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah ini. Pertama, pemerintah dan lembaga terkait harus memperkuat pendidikan politik yang inklusif dan berkelanjutan.
Pendidikan politik harus mulai diterapkan sejak dini di sekolah-sekolah untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi dan toleransi.
Kedua, penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu, seperti _money politic_ dan ujaran kebencian berbasis SARA, harus dilakukan secara tegas dan konsisten.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu diberi kewenangan lebih besar untuk menindak tegas pelaku pelanggaran.
Penegakan hukum yang tegas akan memberikan efek jera dan mencegah terulangnya praktik serupa di masa depan.
Ketiga, partai politik harus kembali pada fungsi utamanya sebagai wahana pendidikan politik.
Partai harus proaktif memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menghormati perbedaan dan memilih berdasarkan program kerja, bukan sentimen atau tekanan.
Hal ini sesuai dengan Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa partai politik harus mendukung demokrasi yang sehat.
Terakhir, masyarakat perlu diajak untuk lebih kritis dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang memecah belah. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, media, dan tokoh agama dapat membantu menciptakan lingkungan pemilu yang lebih damai dan inklusif.
Dengan demikian, pemilu benar-benar menjadi momen kedaulatan rakyat yang membawa kegembiraan dan harapan, bukan perpecahan dan ketakutan.
GELSON _ PATROLINEWS86.COM