Gara-Gara Sebagian Besar Pasangan Memilih Pisah.
Oleh : Gregorius Cristison Bertholomeus, S.H.,M.H
Perpisahan bisa dijadikan pesan penutup dalam sebuah pertemuan bahkan hubungan.
Perpisahan ialah sesuatu yang dihadapi manusia setiap hari dalam satu atau lain bentuk.
Ada sebagian masalah yang membuat kita berhadapan dengan perpisahan.
Satu di antaranya perpisahan sementara karena bekerja.
Orang tersebut akan terpisah secara fisik dari pasangan dan keluarga.
Tetapi, ada pula perpisahan untuk selamanya ketika orang yang kita cintai berpulang.
Tentunya ini semua sangat sulit menerima kenyataan bahwa orang yang telah lama bersamamu harus berpisah denganmu.
Terlepas dari masalah ini, perpisahan mengajarkan kita tentang keikhlasan sebab tidak semua masalah di dunia ini abadi dan bisa kita miliki selamanya.
Perceraian bukanlah berita yang sukar ditemukan saat ini.
Fenomena ini mudah ditemukan pada kalangan yang tidak dikenal bahkan tokoh publik.
Jika di masa lalu, banyak pasangan suami istri yang berusaha menyembunyikan perceraian mereka karena masih dipandang sebagai aib, maka sekarang ini, kisah mengenai perceraian banyak diobral, sangat sedih.
Ironisnya lagi pada banyak tokoh publik, kasus perceraian semakin sering menjadi alat mendongkrak popularitas.
Apa alasan pasangan yang sudah menikah pada akhirnya memutuskan untuk bercerai?
Secara umum, ada banyak alasan yang dikemukakan.
Yang paling banyak ialah merasa sudah tidak ada kecocokan lagi.
Alasan lain, perilaku pasangan yang dianggap sudah tidak dapat ditolerir lagi.
Misalnya melakukan kekerasan atau perselingkuhan.
Jika saya kaji lebih mendalam lagi, ada sebuah alasan mendasar mengapa banyak terjadi perceraian di zaman modern alias zaman sekarang ini.
Alasan tersebut tentu meningkatnya harapan individu terhadap segala hal, termasuk di dalamnya harapan terhadap kualitas pribadi pasangan hidupnya.
Di sisi yang lain, mendapatkan pasangan yang memiliki kualitas pribadi seperti diharapkan semakin tidak mudah kiranya.
Menemukan calon pasangan ideal misalnya dengan menunjukkan kualitas pribadi berupa setia, bertanggung jawab, dan mau bekerja keras pada zaman sekarang bukanlah hal gampang hemat saya.
Tentu ada dua hal yang menjadi penyebabnya.
1). Budaya hedonis, instan, dan konsumtif yang melanda masyarakat kita, dan seakan tidak dapat dibendung lagi.
Budaya-budaya inilah yang membuat banyak orang menjadi semakin memikirkan diri sendiri.
Kecenderungan memikirkan diri sendiri ini kemudian akan membuat orang-orang tersebut menjadi semakin serakah, rakus, dan ingin serba gampang.
Hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah saat orang-orang tersebut menjalin relasi, termasuk relasi dekat dengan orang lain ketika mereka menjadi seorang suami atau istri.
Herannya lagi setidaknya berpikir untuk kepentingan bersama, mereka hanya menjadikan relasi dengan pasangannya sebagai alat untuk dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dirinya, dan tidak memikirkan kebutuhan pasangannya.
2). Semakin rapuhnya keluarga-keluarga yang bertanggungjawab, membentuk individu semenjak masa kanak-kanak untuk menjadi pribadi berkualitas.
Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa akan menjadi seperti apa kepribadian individu, sebagian besar tergantung dari bagaimana proses pembentukan yang terjadi dalam keluarga.
Proses pembentukan dalam keluarga meliputi pengasuhan, model, dan pembelajaran.
Proses ini membutuhkan kondisi stabil.
Adanya berbagai pergeseran nilai dan apa yang dianggap penting dalam banyak keluarga di zaman sekarang, menggoyang kondisi stabil ini.
Dengan alasan mengejar kepentingan ekonomi dan gaya hidup, banyak orangtua yang mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk pekerjaan, sehingga semakin sedikit waktu yang diberikan untuk anak dan keluarganya.
Relasi-relasi yang buruk dalam keluarga, misalnya dengan semakin banyaknya kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, dan perceraian orangtua, juga akan berpengaruh buruk pada pembentukan kepribadian anak-anak yang ada di dalam keluarga itu kiranya.
Dengan menghadapi masalah-masalah ini, pasangan yang telah memutuskan untuk menikah perlu melakukan langkah-langkah antisipasi agar tidak mudah terseret dalam perceraian kedepannya.
Langkah pertama ialah dengan meninggalkan kecenderungan untuk berpusat pada diri sendiri dalam hidup.
Saat misalnya kamu memutuskan untuk hidup bersama orang lain, terlebih dalam ikatan yang sangat dekat yakni sebagai suami istri, kecenderungan memikirkan diri sendiri dapat menjadi ancaman bagi laju bahtera kehidupan rumah tangga.
Untuk menjadikan relasi dalam rumah tangga sebagai magnet yang positif, tidak ada pilihan lain selain mulai keluar dari diri dan mulai memperhatikan orang terdekat di luar dirinya, tentu suami dan anak-anaknya.
Tetapi menuntut pasangan berubah, lebih baik mengubah diri sendiri terlebih dahulu.
Dengan mengubah diri sendiri lebih dahulu, pasangan bisa saja kemudian akan berubah seperti yang kita harapkan.
Terkait dengan ini tentu berpandangan realistis.
Pandangan realistis didasari oleh kemampuan menerima suatu kenyataan, termasuk kenyataan mengenai pasangan hidup meskipun terkadang kenyataan itu tidak sesuai harapan.
Orang yang sehat secara mental bukanlah mereka yang mampu mendapatkan semua yang diharapkan, akan tetapi mereka yang mampu menerima adanya berbagai hal yang tidak sesuai dengan harapan, dan tetap menjalani hidupnya dengan penuh makna.
Mereka yang mengalami masalah mental hingga menjadi orang yang terganggu secara kejiwaan, umumnya diawali dengan adanya harapan yang tinggi terhadap sesuatu.
Sayangnya ketika realita tidak menjadi seperti yang diharapkan, mereka tidak dapat menerimanya dan pada akhirnya mempengaruhi kondisi kesehatan mentalnya.
Ingat, Perceraian samahalnya menyakitkan dengan kematian✌.