Hukuman Terhadap Koruptor Di Indonesia Sangat Ringan, Sehingga Banyak Pejabat Kita “SUKA KORUPSI”.
Oleh : Gregorius Cristison Bertholomeus, S.H.,M.H
Saya melihat dan menilai hukuman terhadap para pelaku koruptor di Indonesia masih sangat ringan.
Bayangkan, hukuman penjara untuk kasus korupsi bervariasi, tergantung pada pasal yang dilanggar dan perbuatan yang dilakukan :
-). Pasal 21 UU Tipikor: Ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun, serta denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
-). Pasal 5 ayat (1) UU 20/2001: Ancaman pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun, serta denda minimal Rp50 juta dan maksimal Rp250 juta.
-). Pasal 13 UU 31/1999: Ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun, serta denda maksimal Rp150 juta.
-). Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain: Ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
-). Orang yang turut serta melakukan korupsi: Ancaman pidana yang sama dengan orang yang melakukan korupsi
Selain pidana penjara, terdakwa juga dapat dikenakan sanksi lain, seperti membayar uang pengganti atau disita harta bendanya.
Perlu kita semua ketahui, ada 10 poin yang membuat koruptor di Indonesia tidak merasakan efek jera.
Khusus untuk kasus korupsi pada tahun 2016 kemarin rata-rata hukuman cuman 3 tahun, kan enak pasti banyak yang ingin melakukannya lagi tiada kapoknya, sehingga banyak pejabat yang masih ingin melakukan korupsi, lihat saja para pelaku korupsi bangunan rumahnya mewah bahkan tanah dan barang berharga ada dimana-mana.
Misalkan jaksa menuntut hanya 3 tahun, kita agak sulit menyatakan koruptor akan jera, kiranya persis drama sinetron.
Pertama, menurut saya, vonis bagi koruptor di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terlalu ringan.
Kedua, proses hukum hanya menjerat pelaku korupsi, bukan hanya keluarga atau kerabat yang terkait dalam kasus pencucian uang.
Ketiga, hukuman hanya berupa pemenjaraan, tidak memiskinkan pelaku korupsi.
Padahal, menurut saya, rata-rata koruptor itu lebih takut disita harta dan kekayaannya ketimbang dipenjara dalam waktu lama.
Keempat, dalam beberapa kasus, hakim menjatuhkan hukuman uang pengganti, tetapi hukuman itu bisa diganti dengan subsider pemenjaraan.
Pada akhirnya koruptor memilih dipenjara.
Bayar uang pengganti adalah wajib, kalau tidak bayar, koruptor itu tidak boleh lolos dari penjara.
Jangan berikan hak subsider dalam undang-undang, alangkah ini lebih baik.
Kelima, pemerintah melalui petugas lapas dinilai masih memberikan kemewahan bagi para koruptor.
Misalnya, lapas khusus yang menyediakan berbagai fasilitas bagi koruptor.
Keenam, mantan terpidana koruptor masih bisa mengikuti pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah.
Hal ini sebagai dampak tidak dicabutnya hak politik bagi terpidana kasus korupsi.
Ketujuh, para koruptor dalam status tersangka dan terdakwa masih dapat menjadi pejabat publik dan masih mendapat pensiun.
Kedelapan, walaupun ditetapkan sebagai terdakwa, seorang koruptor tidak dilakukan penahanan dan pencekalan.
Kesembilan, hukuman tidak membuat jera, misalnya, ada terdakwa kasus korupsi, yakni Nazaruddin dan Artalita Suryani, yang masih bisa menjalankan bisnis.
Kesepuluh, walaupun berstatus tersangka atau terdakwa, seorang koruptor masih bisa menduduki jabatan publik.
Disini saya melihat ada beberapa kasus korupsi kemarin, misalnya ada seorang kepala di salah satu daerah di Indonesia yang merupakan mantan terpidana kasus korupsi, herannya lagi gubernur sempat ingin mengangkat kepala dinas tersebut yang dari terpidana, inikan sangat lucu dan bahkan dapat merusak semuanya.
Perlu kita semua ketahui, bahwa korupsi adalah penyakit kronis yang membutuhkan obat yang tepat, dialah “hukuman tegas dan transparansi”.
Sebab hukuman yang ringan hanya memperkuat keberanian koruptor kiranya.
Hemat saya, Keadilan yang sebenarnya dimulai dari hukuman yang tegas terhadap korupsi.
Hukuman tegas adalah kunci untuk membuka pintu kebersihan dan transparansi.
Semuanya ini tentu merupakan hal yang baik, karena prubahan dimulai dari hukuman yang tegas, bukan dari janji kosong.
Korupsi dapat dikalahkan dengan hukuman yang tegas dan kesadaran masyarakat.
Kesimpulannya, untuk mengatasi korupsi, diperlukan :
1). Hukuman yang tegas dan proporsional.
2). Transparansi dan akuntabilitas.
3). Pendidikan dan kesadaran masyarakat.
4). Pengawasan dan pengendalian yang efektif.
5). Reformasi sistem dan lembaga.
Semoga Indonesia Lebih Baik Kedepannya.
GELSON _ PATROLINEWS86.COM