Yang paling aneh, lanjut Lalengke, adalah penentuan status kewartawanan seseorang yang oleh Dewan Pers selama ini disebutkan bahwa seseorang diakui sebagai wartawan jika menjadi konstituen lembaga itu dan telah mengikuti UKW. Artinya, jika seorang wartawan bergabung di organisasi pers non konstituen Dewan Pers dan tidak memiliki ijazah UKW, plus medianya tidak terdaftar di lembaga itu, maka yang bersangkutan akan dianggap bukan wartawan.
“Ini yang selalu terjadi. Contoh kasus di Lhokseumawe, Aceh, beberapa tahun lalu. Dewan Pers menyatakan dua wartawan media online BeritaAtjeh.Net bukan wartawan karena belum UKW dan medianya tidak terdaftar di Dewan Pers. Padahal, di KTP yang bersangkutan tertulis pekerjaannya sebagai wartawan [2]. Itu benar-benar konyol,” ujar lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, The United Kingdom, ini heran.
Sehubungan dengan perilaku menyimpang dari aturan perundangan yang ada, maka Wilson Lalengke mengharapkan agar Majelis Hakim Konstitusi yang mulia dapat mengembalikan dan mendudukan tugas dan fungsi masing-masing pihak, Dewan Pers, organisiasi pers, dan wartawan pada posisi yang sebenarnya. “PPWI berharap agar MK dapat mengembalikan hak konstitusi para wartawan dan organisasi pers yang selama ini dirampas oleh Dewan Pers akibat salah penafsiran atas Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Pers,” tandas Lalengke mengakhiri pernyataannya. (NJK/ Red)