Hukum Adat, Dalam Penyelesaian Masalah Perselingkuhan.
Oleh : Kanisius Lavanto.
Perselingkuhan merupakan kejahatan berupa persetubuhan, diluar perkawinan sah yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang salah satunya telah menikah baik laki-laki maupun perempuan.
Maka jelas konsekuensinya, jika terjadi maka para pihak harus mendapatkan hukuman.
Sebagai salah satu sumber hukum tidak tertulis di Indonesia kedudukan hukum adat diakui eksistensinya dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Pasal 32 Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nailai-nilai budayanya.
Ketiga dasar hukum tersebut menegaskan bahwa konstitusi menyebutkan hukum adat sebagai hak masyarakat dan dijamin keberadaannya oleh konstitusi.
Konstitusi memberikan ruang gerak terhadap hukum adat dalam berkontribusi untuk menertibkan masyarakat adatnya.
Dalam masyarakat Adat Desa Munerana peselingkuhan dikenal ada dua ungkapan, pertama “Huma Ata Wain” secara harafia berarti merampas istri orang.
Hal ini terjadi ketika seorang lelaki baik berstastus menikah atau lajang yang berselingkuh dengan istri orang.
Kedua “Huma Ata Lain” artinya merampas suami orang, yakni perselingkuhan yang terjadi pada seorang perempuan yang belum menikah dengan seorang lelaki yang telah menikah.
Dalam kasus Huma Ata Wain, pihak laki-laki harus membayar denda adat berupa kuda sebanyak 3 ekor dan sejumlah uang sebesar setengah dari harga kuda tersebut kepada keluarga laki-laki.
Selanjutnya apabila laki-laki tersebut bertanggung jawab untuk memperistri perempuan selingkuhannya, maka yang bersangkutan harus mengganti rugi seluruh barang pembelisan yang pernah diberikan oleh suami korban, dalam kasus tertentu, tuntutan pengembalian barang pembelisan sebanyak dua kali lipat.
Dalam kasus Huma Ata Lain, sang perempuan akan diberikan sanksi membayar denda kepada istri dari selingkuhannya berupa satu ekor kuda dan uang sebanyak setengah harga kuda, sedangkan si laki-laki tetap membayar denda berupa kuda sebanyak 3 ekor dan sejumlah uang sebesar setengah dari harga kuda tersebut.
Sehingga dalam penyelesaian kasus Huma Ata Lain biasanya disepakati, pihak laki-laki, hanya membayar 2 ekor kuda dengan uang sejumlah setengah harga kuda tersebut.
Adapun nilai yang dapat diambil dari penyelesaian berbagai kasus oleh lembaga adat, dengan berpedoman pada hukum adat.
Proses penyelesaian secara adat, selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat.
Sungguhan aturan dan sanksi adat menetapkan demikian, namun dalam proses realisasi terhadap sanksi pelanggaran biasanya dapat dilakukan negosiasi dengan memperhatikan tanggung jawab dan kesangguan pelaku tanpa mengabaikan asas keadilan dan kepastian hukum.
Niat baik dari pelaku dan etikanya dalam musyawarah akan menjadi bagian yang patut dipertimbangkan, apabila pelaku tidak sanggup memenuhi keseluruhan denda adat tersebut, maka akan dbuka ruang mediasi agar korban dapat memaklumi dan memaafkan pelaku tanpa mengurangi nilai hukum dalam penegakannya.
Dengan demikian tidak heran jika banyak proses penyelesaian secara adat akan berujung pada upaya damai.
Pada hakekatnya tatanan adat dan kebudayaan dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai luhur yang melekat dalam diri seorang manusia.
Dalam sudut pandang tertentu dapat dikatakan bahwa warisan budaya seperti hukum adat merupakan bentuk sederhana terhadap kesadaran akan hak asasi manusia.
Penegakan hukum adat dimaksudkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia tanpa membedakan jenis kelamin dan usia maupun latar belakang dan kedudukan dalam interaksi sosial kemasyarakatan.
Hal ini tampak dalam ungkapan yang selalu di hidupi dalam masyarakat adat desa Munerana yakni : “Dua Nora Lin, Lai Nora Welin” artinya baik laki-laki maupun perempuan, memiliki harkat dan martabat yang sama.
GELSON _ PATROLINEWS86.COM