Melihat situasi saat ini, dia menduga ada oknum yang memanfaatkan program-program Dewan Pers untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, hingga menyulut api kemarahan para aktifis pers.
“Mengenai kebijakan Dewan Pers yang menjadi pro dan kontra, yakni pertama, tentang media terverifikasi.
“Media terverifikasi Dewan Pers adalah kegiatan Dewan Pers untuk PENDATAAN media terhadap industri pers yang masih eksis dan konsisten menjalankan tugas dan fungsi pers di lapangan,” jelasnya.
“Dulu setiap redaksi wajib mengisi formulir dan melampirkan legalisasi badan hukum yang masih berlaku dan bukti tayang/ cetak penerbitan secara berkala, kemudian Dewan Pers mencatat nama-nama media tersebut dan menerbitkan Buku Data Media Dewan Pers,” ungkapnya.
Namun belakangan ini, dikabarkan kuisioner formulir ditambah dan dianggap sebagai persyaratan mutlak, yakni sertifikasi kompetensi setiap jajaran redaksi mulai dari wartawan, redaktur hingga pemimpin redaksi. Bila tidak ada maka tidak terverifikasi atau tidak didata Dewan Pers.
‘Kemudian kuisioner penepatan upah atau gaji wartawan yang diwajibkan memiliki SK Kementerian Ketenagakerjaan yang harus sesuai dengan standar UMR/ UMP nasional. Tentu ini dilema bagi media-media pemodal kecil dan menengah,” lanjutnya.
Belum lagi, biaya untuk mengikuti ujian sertifikasi kompetensi.
“Setiap tingkatan yang nilainya jutaan rupiah bahkan terdengar kabar ada yang mencapai belasan juta untuk uji kompetensi utama. Itu pun kalau lulus,” imbuhnya.
Esensi dari kebijakan itu, media-media yang belum terverifikasi langsung dieksekusi dan dicap secara terbuka kepada publik sebagai media abal-abal, odong-odong, dan atau media liar.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya