Pengesahan UU TNI: Kemunduran Demokrasi.
Oleh : Gregorius Cristison Bertholomeus, S.H.,M.H
RUU TNI bukan sekadar perubahan normatif dalam sistem pertahanan negara, tetapi merupakan ancaman nyata terhadap prinsip supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.
penyusunan RUU TNI yang terkesan terburuh-buruh sangat kontras dengan sejumlah RUU yang lebih berpihak pada rakyat, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perampasan Aset, yang justru terbengkalai selama bertahun-tahun.
DPR merespons dengan cepat dan menyetujui usulan (RUU TNI) tersebut hanya dalam jangka waktu lima hari, sangat miris hemat saya.
Kemudian, perluasan penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil menurutnya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Pasal 30 UUD NRI 1945.
Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa TNI adalah alat negara yang harus tunduk pada kebijakan politik negara, dengan tugas utama mempertahankan, melindungi, dan menjaga keutuhan serta kedaulatan negara, bukan justru menjadi pelaku politik itu sendiri.
Seandainya prajurit aktif dibiarkan mengisi jabatan-jabatan strategis di ranah sipil, maka reformasi TNI yang menegaskan pemisahan militer dan sipil menjadi dalih belaka.
Oleh karena itu saya beranggapan bahwa RUU TNI ini merupakan bentuk kudeta konstitusional yang tidak dilakukan dengan senjata, tetapi dengan pena undang-undang.
Kekhawatiran dan ketakutan masyarakat cukup besar karena dari proses penyusunan RUU menjadi UU yang berlangsung sangat cepat, kurang transparan, dan mengabaikan aspirasi publik secara luas.
Terlebih, substansi perubahan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI ini sangat krusial, karena memberikan ruang yang besar kepada TNI berkiprah di ranah publik yang bisa mengancam demokrasi.
Tentu ada beberapa hal penting yang menimbulkan kekhawatiran luas masyarakat pecinta demokrasi atas pengesahan UU TNI yang telah direvisi itukan.
Yang pertama, adanya perluasan tambahan tugas militer yang sebelumnya 14 menjadi 16 pos.
Yang kedua, militer aktif bisa menduduki jabatan publik dari yang sebelumnya 10 menjadi 14.
Dan yang ketiga, usia pensiun TNI dari yang sebelumnya bagi tamtama dan bintara 53 tahun diubah menjadi 55 tahun dan perwira adalah 58 tahun bahkan khusus perwira tinggi batas usia pensiun maksimal menjadi 63 tahun dan bisa diperpanjang 2 kali atau 2 tahun sesuai dengan kebutuhan.
Artinya RUU TNI yang telah disetujui oleh DPR RI itu kini menjadi pintu masuk peran TNI yang lebih besar dan lebih luas kiranya.
Tentu keadaan ini jelas menggerogoti supremasi sipil dalam iklim demokrasi, sehingga sangat meresahkan dan menjadi pertanda bahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara terutama kebebasan sipil, hak asasi manusia dan demokrasi.