Di zaman Digital yang serba cepat ini, informasi sangatlah cepat bahkan melebihi rotasi bumi. Didukung dengan adanya internet membuat siapa saja mampu untuk mengirimkan berbagai macam informasi bahkan sebuah berita kepada siapapun tanpa peduli dengan dampak yang akan ditimbulkannya.
Jurnalis yang sering juga disebut PERS adalah Pilar ke empat di negara ini, yang mana harus betul-betul menjadi corong masyarakat, dan tidak boleh mempunyai rasa takut serta harus berani bersuara dalam mengungkap fakta serta mencari sebuah kebenaran untuk keadilan.
Bekerja menjadi seorang Jurnalis alias Wartawan tentunya haruslah dengan cara profesional dalam mencari dan mengkaper berita-berita penting yang layak dimuat untuk publik.
Bermain kata-kata adalah keseharian seorang Jurnalis. Sangat aneh rasanya ada orang mengaku Jurnalis tapi tidak menulis. Jurnalis bisa tulis apa saja, siapa saja, dimana saja, kapan saja, dan dalam situasi apa saja.
peran para kuli tinta ini sangatlah hebat hingga muncul sebuah julukan untuk kuli tinta yang baru yaitu ‘separuh diplomat separuh detektif’. Namun dimasa sekarang, pekerjaan mulia itu banyak ternodai oleh oknum-oknum kuli tinta yang melupakan kode etik jurnalistik dan tanggung jawabnya demi setumpuk rupiah.
Sebagai seorang pekerja intelektual selain rajin menulis, Jurnalis juga harus rajin membaca. Jurnalis tidak berhenti belajar, tidak berhenti menambah wawasan, penulis yang baik adalah pembaca yang baik, biasanya begitu. Kosa kata bertambah dengan membaca, kosa kata jadi hidup karena menulis, kosa kata adalah peluru, menulis adalah senjata. Banyak menulis membuat kosa kata aktif dalam pemikiran sehingga lancar untuk digunakan dalam menulis situasi yang sangat berhubungan dengan rasa.
Menulis dengan rasa, menulis dengan hati, membuat Jurnalis menjadi lebih hati-hati, penempatan kata-kata yang sesuai bisa menghindari sakit hati para pembaca yang terkait dengan apa yang Jurnalis tulis. Menulis dengan hati membuat tulisan mempunyai akurasi tinggi, baik dari segi penulisan kata, maupun dalam penggunaan tata bahasa.
Jurnalis itu teliti, rinci, dan akurat. Budaya cek dan ricek adalah best practice dari seorang Jurnalis. Memeriksa dan membaca tulisan kembali adalah suatu keharusan, suatu latihan dalam memperbaiki kata-kata, mengoreksi tulisan sendiri mempunyai nilai tambah, kata yang salah sama seperti langka yang salah. Mengetahui kelemahan tulisan dari awal sama dengan memperkuat langka dari serangan kritikan yang menjatuhkan.
Menjadi Jurnalis sama dengan menjadi seorang pendekar di dunia antah berantah, seorang Jurnalis tidak akan tahu siapa yang akan membaca tulisannya, siapa yang mengkritik tulisannya, siapa yang akan merasa keberatan dengan tulisannya, serangan tidak terduga bisa terjadi kapan saja oleh siapa saja, mahir bersilat kata akan banyak memberikan hikmah dan makna tentang kehidupan kepada pembaca, baik yang pro maupun yang kontra. Dan seorang kuli tinta bisa menentukan surga dan nerakanya sendiri kelak di akhirat nanti.
(Deden Sudiana)