“Dalam proses persidangan perkara pidana kedudukan penuntut umum dan terdakwa adalah sejajar. Selanjutnya, untuk pemberitahuan putusan disampaikan oleh pengadilan (juru sita pengadilan negeri) kepada penuntut umum dan terdakwa atau penasehat hukum,” beber Lalengke mengutip penjelasan Elseus Salakori melalui pesan WhatsApp-nya kepada pemimpin redaksi Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) ini [1]. Salakori tidak menjelaskan mengapa Kejati Sulut yang aktif menyampaikan putusan banding itu, bukan PN Manado.
Ketiga, putusan hakim banding ditetapkan pada tanggal 16 Desember 2021, namun pemberitahuan kepada Arthur Mumu dilakukan, sekali lagi hanya melalui pesan WhatsApp, pada tanggal 31 Januari 2022. “Fakta ini menjadi salah satu bukti atas kebobrokan sistem dan kinerja aparat penegak hukum di Sulut, dalam hal ini Pengadilan Tinggi, Kejaksaan Tinggi, dan Pengadilan Negeri Manado, karena jelas melanggar Pasal 226 ayat (1) KUHAPid yang berbunyi: Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya segera setelah putusan diucapkan [2]. Jikapun PT Sulut dapat berkilah bahwa Pasal 226 ayat (1) tersebut hanya di lingkup pengadilan negeri sebagai lembaga peradilan tingkat pertama, namun pemberitahuan putusan hakim banding wajib disampaikan kepada PN Manado sesegera mungkin, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 243 ayat (1) KUHAPid, yang berbunyi: Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus tingkat pertama [3],” tegas Lalengke.
Keempat, yang paling aneh bin absurd adalah bahwa putusan banding tersebut dinyatakan sudah berkekuatan hukum tetap alias inkracht van gewijsde. Hal itu tertuang dalam catatan Panitera Pengadilan Negeri Manado yang ditandatangani pada tanggal 11 januari 2022 oleh M. Abduh Abas, SH yang dikirimkan bersamaan dengan salinan putusan majelis hakim banding oleh Kejati Sulut kepada Arthur Mumu. Catatan itu berbunyi: Putusan Nomor 117/PID/2021/PT Mnd dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap sejak tanggal 31 Desember 2021 berhubung terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum menerima atau tidak mengajukan upaya hukum kasasi.
“Ini benar-benar sebuah kebiadaban hukum yang dipertontonkan dengan fulgar oleh oknum di lembaga-lembaga peradilan di Sulut itu. Bagaimana mungkin Arthur Mumu bisa melakukan upaya hukum kasasi ketika pemberitahuan tentang putusan hakim banding disampaikan kepadanya pada tanggal 31 Januari 2022 hanya melalui pesan WhatsApp oleh Kejati Sulut? Fakta ini mengindikasikan bahwa pihak pengadilan diduga kuat sengaja tidak memberitahukan terdakwa terkait hasil permohonan banding yang bersangkutan dan langsung memutuskan secara sepihak bahwa terdakwa menerima dan tidak melakukan perlawanan melalui upaya hukum kasasi. Ini benar-benar perlakuan sadis oknum aparat hukum terhadap warga negara menggunakan pedang hukum!” kata tokoh pers nasional yang getol membela rakyat terzolimi di berbagai daerah itu.
Sehubungan dengan buruknya proses penanganan perkara dalam rangka menghadirkan keadilan bagi semua warga negara di Sulawesi Utara, khususnya terkait kasus kriminalisasi Arthur Mumu ini, Lalengke mempertanyakan profesionalitas dan pertanggungjawaban para aparat penegak hukum di wilayah tersebut. Bagi pria yang juga menamatkan program pasca sarjanannya di bidang Applied Ethics di Utrecht University, The Netherlands, dan Linkoping University, Sweden, itu seyogyanya profesionalitas kerja para polisi, jaksa dan hakim harus tercermin dari keadilan hukum yang berhasil mereka hadirkan bagi setiap warga yang berperkara melalui proses peradilan.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya