Surat kabar tersebut bernama Kort Bericht Eropa yang artinya “berita singkat dari Eropa” yang menyampaikan berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Denmark, dan Inggris. Berita-berita tersebut dicetak oleh Abraham Van den Eede.Pada abad ke-18 yakni bulan Oktober 1744 lahirlah media yang bernama Bataviase Nouvelles. Surat kabar tersebut merupakan surat kabar pertama di Batavia.
Kemudian pada tahun 1780 tepatnya tanggal 23 Mei, terbitlah surat kabar kedua di Hindia Belanda yang bernama Vendu Nieuws. Pada masa pemerintahan Daendels yakni tahun 1810 surat kabar yang diterbitkan yakni bernama Bataviasche Koloniale Courant.
Kala itu, surat kabar merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat meski berita maupun penampilan yang disajikan masih sederhana. Pers dipandang sebagai alat pendokumentasian atas semua peristiwa yang terjadi di negara kita.
Surat kabar disajikan dalam bahasa Belanda sampai akhir abad ke-19 karena seorang penguasa dalam negeri, Binnenland Bestuur yang mengatur surat kabar pada saat itu.
Kemudian pada tahun 1945 saat era setelah penyerahan kedaulatan Jepang, surat kabar yang pertama kali dicetak bernama Berita Indonesia yang muat sejak 6 September 1945. Pada tahun 1945-1958, situasi perpolitikan di Indonesia masih panas.
Surat kabar di Indonesia telah terbit sebanyak 124 dengan jumlah tiras 405.000 eksemplar pada Desember 1948. Namun akibat terjadinya Agresi Militer Belanda Kedua, jumlah surat kabar di Indonesia berkurang menjadi 81 dengan jumlah tiras sebanyak 283.000 eksemplar.
Setelah masa kemerdekaan, minat masyarakat terhadap media massa meningkat karena mereka ingin mengikuti perkembangan negaranya yang telah merdeka itu. Oleh karena itu, usaha penerbitan koran mulai kembali banyak pun dengan jurnalis yang jumlahnya juga meningkat.
Kongres pada tahun 1946 diadakan dengan tujuan untuk mempersatukan dan menertibkan para jurnalis yang bertempatan di kota Solo. Dalam kongres tersebut, sebuah organisasi profesi wartawan telah dibentuk dan yang menjadi ketua pertamanya ialah Mr. Sumanang.
Di tahun yang sama setelah Sari Pers didirikan oleh Pak Sastro, kantor berita Antara kembali dibuka setelah tiga tahun dibekukan oleh Jepang.
Soekarno mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin pada 28 Oktober 1956. Periode demokrasi terpimpin merupakan periode yang paling buruk dalam sejarah perkembangan pers di Indonesia.
Hal tersebut dapat dilihat dari para petinggi yang telah melampaui batas toleransi dalam memperlakukan, mempersepsi, dan menyikapi pers. Pers dianggap sebagai alat “revolusi” yang memiliki pengaruh besar untuk menggerakkan massa dalam menyelesaikan sebuah revolusi.
Pada masa Orde Baru (Orba) yang berlangsung dari tahun 1968 sampai 1998, kebebasan pers sangat terbatas dan pelarangan media massa banyak terjadi. Pada 15 Januari 1974, terjadi peristiwa Malari di mana pada saat itu sebanyak 12 media cetak diberhentikan penerbitannya secara paksa.
Yang paling iconic dari pembredelan media massa ini ialah pencabutan SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers pada beberapa media massa seperti Majalah Tempo, Detik, dan Editor. Namun Tempo tetap berani dalam melawan pemerintah meskipun ia berada dalam keadaan yang sulit.
Selain itu juga, semua penerbitan di media massa diawasi oleh pemerintah melalui departemen penerangan. Pers harus menerbitkan berita yang baik tentang pemerintahan jika ingin tetap hidup.
Sedihnya pada saat itu, pers tidak menjalankan fungsinya dengan baik sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
Hal yang menguntungkan untuk masyarakat pada masa reformasi adalah tumbuhnya kembali pers di Indonesia. Kehadiran pers dianggap sudah dapat mengisi kekosongan ruang publik.
Saat itu perubahan yang dialami oleh pers Indonesia sangat drastis dalam mengungkapkan kebebasan. Hal tersebut ditandai juga dengan munculnya beberapa media baru cetak dan elektronik dari berbagai segmen dan kemasan.
Juga terdapat ciri baru dari pers Indonesia salah satunya adalah berani dalam mengkritik penguasa.
Masuknya liberalisasi dan budaya ke dunia media massa merupakan salah satu pengaruh berkembanganya kebebasan pers. Pengaruh tersebut juga sering mengabaikan unsur pendidikan.
Pada masa Megawati, komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers kian melemah karena kasus yang menimpa majalah Tempo. Sementara di era Susilo Bambang Yudhoyono, campur tangan pemerintah atas kebebasan pers terlihat dalam bentuk pemangkasan fungsi dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Syarat mutlak untuk demokrasi yang tegak ialah pers bebas dan merdeka.