Korupsi: Cerminan Masyarakat Indonesia Dan Upaya Penanganannya.
Oleh : Yustina Yuniati.
Korupsi di Indonesia tidak hanya terjadi di kalangan pejabat tinggi, tetapi juga mencerminkan perilaku masyarakat secara luas.
Praktik ini hadir dalam skala besar maupun kecil, menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi pola pikir yang mengakar, di mana kepentingan pribadi sering kali diutamakan di atas kepatuhan terhadap aturan.
Sebagai contoh kasus korupsi di kalangan pejabat, kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada 2008-2018 menjadi sorotan.
Kasus ini melibatkan pengelolaan dana nasabah secara tidak wajar melalui investasi fiktif, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp16,81 triliun.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan manipulasi saham dan reksa dana oleh mantan Direktur Utama Hendrisman Rahim dan Direktur Keuangan Hary Prasetyo, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 2019 [Sumber: BPK, Laporan Audit PT Jiwasraya, 2019; Kejaksaan Agung, Pengumuman Kasus Jiwasraya, 2020]. Kasus ini merugikan ribuan nasabah dan menunjukkan penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Di kalangan masyarakat biasa, praktik korupsi kecil juga sering terjadi.
Salah satu contoh adalah penggantian kembalian uang dengan permen saat berbelanja di warung atau toko kecil.
Ketika kembalian sebesar Rp500 atau Rp1.000 tidak tersedia, penjual kerap memberikan permen tanpa persetujuan pembeli.
Praktik ini, meskipun bernilai kecil, mencerminkan penyimpangan yang diterima sebagai hal biasa [Sumber: Kompas.com, “Pelaku Usaha Memberi Kembalian dengan Permen, Bagaimana Aturan Hukumnya?,” 25 Oktober 2023].
Contoh lain adalah manipulasi daftar penerima bantuan sosial oleh oknum ketua RT atau RW.
Dalam distribusi bantuan seperti sembako, beberapa warga melaporkan bahwa nama penerima yang berhak diganti dengan kerabat atau pihak yang tidak memenuhi syarat [Sumber:Kompas.com, “Penyimpangan Bansos oleh Oknum RT/RW,” 2021].
Kedua praktik ini menunjukkan korupsi kecil yang melibatkan masyarakat biasa.
Pandangan saya, korupsi adalah cerminan masyarakat kita.
Pejabat tinggi memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri, seperti dalam kasus Jiwasraya, sementara masyarakat biasa turut melanggengkan praktik ini melalui tindakan kecil seperti menerima kembalian permen atau memanipulasi bantuan sosial.
Mentalitas ini mencerminkan kecenderungan mencari keuntungan dengan cara yang tidak sesuai aturan, yang pada akhirnya merugikan pembangunan dan kepercayaan publik.
Untuk mengatasi korupsi, beberapa langkah dapat diambil:
Pertama, meningkatkan transparansi melalui sistem digital untuk pengelolaan dana publik dan distribusi bantuan, sehingga setiap proses dapat dipantau.
Kedua, menerapkan sanksi tegas, termasuk penyitaan aset bagi pejabat dan hukuman administratif bagi pelaku kecil, untuk memberikan efek jera.
Ketiga, membangun kesadaran anti-korupsi melalui pendidikan formal sejak dini, agar integritas menjadi nilai yang dijunjung tinggi.
Kesimpulannya, korupsi sebagai cerminan masyarakat Indonesia, baik dalam kasus besar seperti Jiwasraya maupun praktik kecil seperti kembalian permen dan manipulasi bantuan, menuntut perubahan menyeluruh.
Dengan transparansi, hukuman yang adil, dan pendidikan, kita dapat mengurangi praktik ini demi tata kelola yang lebih bersih.
GELSONIELA.